pengertian desa dan otonomi desa
A. Pengertian Desa
Desa berasal dari istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti tanah tumpah darah. Menurut definisi universal, desa adalah kumpulan dari beberapa permukiman di area pedesaan atau rural area. Istilah desa di Indonesia merujuk kepada pembagian wilayah administratif yang berada di bawah kecamatan dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa.
Istilah desa berkembang dengan nama lain sejak berlakunya otonomi daerah seperti di Sumbar dengan sebutan Nagari, Gampong dari Aceh, dan dikenal dengan sebutan kampung di Papua, Kutai Barat. Semua institusi lain di desa juga bisa mengalami perbedaan istilah tergantung kepada karakteristik adat istiadat dari desa tersebut. Perbedaan istilah tersebut merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan dari pemerintah terhadap asal usul adat setempat yang berlaku. Walaupun begitu, dasar hukum desa tetap sama yakni didasarkan pada adat, kebiasaan dan hukum adat.
Dalam pengertian Desa menurut Widjaja dan UU nomor 32 tahun 2004 di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena dengan Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan Otonomi Daerah.
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.
Sejarah Pembentukan Desa
Ciri – ciri masyarakat dalam sejarah terbentuknya desa antara lain bahwa kehidupan keagamaan di desa lebih kuat daripada di kota karena kontrol sosial yang lebih ketat, penduduk cenderung untuk saling tolong menolong karena rasa kebersamaan yang tinggi, dan tingkat ketergantungan cukup tinggi juga karena hal tersebut. Pembagian kerja yang cenderung baur dan tidak ada batasan yang jelas, pekerjaan yang sama seperti anggota keluarga terdahulu, kurangnya kreativitas dan inovasi karena keterbatasan teknologi, interaksi untuk kepentingan bersama, pembagian waktu lebih teliti dan perubahan sosial yang terjadi perlahan.
Zaman Belanda
Desa sebagai unit paling rendah tingkatannya dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak dulu dan bukan terbentuk oleh Belanda. Awal sejarah terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan kodrat atau kepentingan yang sama dari bahaya luar. Kapan awal pembentukan desa hingga sekarang sulit diketahui secara pasti. Tetapi ada bukti dalam prasasti Kawali di Jawa Barat pada akhir tahun 1350 M serta ditemukannya prasasti Walandit di Tengger, Jatim pada 1381 M. Desa sudah ada jauh sebelum penjajahan Belanda di Indonesia dimana penyelenggaraannya didasarkan pada hukum adat.
Setelah Belanda menjajah Indonesia dan membentuk undang – undang pemerintahan di Hindia Belanda (Regeling Reglemen), maka desa juga diberi kedudukan hukum. Untuk menjabarkan maksud dari peraturan perundangan tersebut, Belanda kemudian mengeluarkan Indlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada tahun 1924 Regeling Reglemen diubah dengan Indische Staatsregeling tetapi dalam prinsipnya tidak ada perubahan berarti, maka IGO masih berlaku. Untuk daerah di luar Jawa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mengeluarkan peraturan Indlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) tahun 1938 no.490.
Menurut IGO ada tiga unsur penting dari sejarah terbentuknya desa yaitu kepala desa, pamong desa dan rapat desa. Kepala desa adalah penguasa tunggal pemerintahan desa, menyelenggarakan urusan rumah tangga desa dan urusan yang berhubungan dengan pemerintah dan harus memperhatikan pendapat desa dalam melaksanakan tugasnya. Kepala desa dibantu oleh Pamong Desa yang berbeda sebutannya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Kepala desa perlu tunduk pada rapat desa untuk hal – hal yang penting.
Pembentukan Desa di Zaman Jepang
Masa penjajahan Jepang di Indonesiayang singkat tidak membawa banyak perubahan dalam struktur dan sistem pemerintahan Indonesia termasuk untuk struktur dalamm sejarah terbentuknya desa. Secara umum pemerintahan Jepang secara umum menghapuskan demokrasi dalam pemerintahan daerah. Pada prinsipnya IGO serta peraturan lainnya tetap berlaku dan tidak ada perubahan, sehingga desa tetap ada dan tetap berjalan sesuai peraturan yang ada sebelumnya. Hanya ada sedikit perubahan pada Osamo Seirei 1942 yang mengganti beberapa sebutan kepala daerah dengan bahasa Jepang seperti Syuco, Kenco, Si-Co, Tokubetu – si, Tokubetu Sico, Gunco, Sonco dan Kuco, juga ada Osamu Seirei 7 tahun 1944 yang sedikit merubah tata cara pemilihan kepala desa. Ketahui juga mengenaiperkembangan nasionalisme di Indonesiadan latar belakang kerusuhan Mei 1998.
Struktur Desa di Indonesia
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 mengenai Desa bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan RI. Sedangkan menurut UU no.6 Tahun 2014 tentang desa, disebutkan bahwa desa adalah desa dan desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan RI.
Desa bukan berada di bawah kecamatan karena kecamatan adalah bagian dari kabupaten/kota, dan desa bukanlah bagian dari perangkat daerah. Desa berbeda dengan kelurahan dan memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas, tetapi dalam perkembangannya statusnya dapat berubah menjadi kelurahan.
Kewenangan yang dimiliki desa adalah:
Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada yang didasarkan pada hak asal usul desa
Menyelenggarakan urusan pemerintahan kewenangan kabupaten/kota yang pengaturannya diserahkan kepada desa, yaitu urusan pemerintahan yang secara langsung dapat membantu meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat.
Memiliki tugas pembantuan dari pemerintah, propinsi dan pemerintah kabupaten atau kota.
Menjalankan urusan pemerintahan lain yang diserahkan kepada desa. Ketahui juga mengenai sejarah perumusan UUD 1945 , biografi Cut Nyak Dhien danbiografi Mohammad Hatta.
Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan
Susunan Pemerintahan Desa
Fungsi dalam sejarah terbentuknya desa adalah sebagai hinterland (pemasok kebutuhan kota), sebagai sumber tenaga kerja kasar, mitra bagi pembangunan kota dan sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah NKRI. Desa memiliki struktur pemerintahan sendiri yang terdiri dari Pemerintah Desa, meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Kepala Desa
Kepala desa juga berwenang untuk menetapkan Peraturan Desa yang sudah disepakati bersama BPD. Pemilihan Kepala Desa dilakukan langsung bersama penduduk desa setempat.
Perangkat Desa
Tugasnya adalah untuk membantu Kepala Desa dalam melakukan tugas dan wewenangnya. Perangkat desa terdiri dari Sekretaris Desa yang diisi oleh pegawai negeri sipil dan diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati atau Walikota, tiga Kepala Urusan
Konsep Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (Maria Eni Surasih, 2002.
Undang-Undang yang Mengatur Tentang Otonomi Desa
Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perubahan positif dalam UU No 32. Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksaannya yaitu PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain:
Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai 119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam kerangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol.
Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 jo. Pasal 7
PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana, dan sarana serta sumber daya manusia.
Dalam pengaturan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian (alokasi). Hal ini tentu berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relativ pasti telah ditentukan dalam Pasal 68 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa, yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.
Desa berasal dari istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti tanah tumpah darah. Menurut definisi universal, desa adalah kumpulan dari beberapa permukiman di area pedesaan atau rural area. Istilah desa di Indonesia merujuk kepada pembagian wilayah administratif yang berada di bawah kecamatan dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa.
Istilah desa berkembang dengan nama lain sejak berlakunya otonomi daerah seperti di Sumbar dengan sebutan Nagari, Gampong dari Aceh, dan dikenal dengan sebutan kampung di Papua, Kutai Barat. Semua institusi lain di desa juga bisa mengalami perbedaan istilah tergantung kepada karakteristik adat istiadat dari desa tersebut. Perbedaan istilah tersebut merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan dari pemerintah terhadap asal usul adat setempat yang berlaku. Walaupun begitu, dasar hukum desa tetap sama yakni didasarkan pada adat, kebiasaan dan hukum adat.
Dalam pengertian Desa menurut Widjaja dan UU nomor 32 tahun 2004 di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena dengan Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan Otonomi Daerah.
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.
Sejarah Pembentukan Desa
Ciri – ciri masyarakat dalam sejarah terbentuknya desa antara lain bahwa kehidupan keagamaan di desa lebih kuat daripada di kota karena kontrol sosial yang lebih ketat, penduduk cenderung untuk saling tolong menolong karena rasa kebersamaan yang tinggi, dan tingkat ketergantungan cukup tinggi juga karena hal tersebut. Pembagian kerja yang cenderung baur dan tidak ada batasan yang jelas, pekerjaan yang sama seperti anggota keluarga terdahulu, kurangnya kreativitas dan inovasi karena keterbatasan teknologi, interaksi untuk kepentingan bersama, pembagian waktu lebih teliti dan perubahan sosial yang terjadi perlahan.
Zaman Belanda
Desa sebagai unit paling rendah tingkatannya dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak dulu dan bukan terbentuk oleh Belanda. Awal sejarah terbentuknya desa diawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan kodrat atau kepentingan yang sama dari bahaya luar. Kapan awal pembentukan desa hingga sekarang sulit diketahui secara pasti. Tetapi ada bukti dalam prasasti Kawali di Jawa Barat pada akhir tahun 1350 M serta ditemukannya prasasti Walandit di Tengger, Jatim pada 1381 M. Desa sudah ada jauh sebelum penjajahan Belanda di Indonesia dimana penyelenggaraannya didasarkan pada hukum adat.
Setelah Belanda menjajah Indonesia dan membentuk undang – undang pemerintahan di Hindia Belanda (Regeling Reglemen), maka desa juga diberi kedudukan hukum. Untuk menjabarkan maksud dari peraturan perundangan tersebut, Belanda kemudian mengeluarkan Indlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada tahun 1924 Regeling Reglemen diubah dengan Indische Staatsregeling tetapi dalam prinsipnya tidak ada perubahan berarti, maka IGO masih berlaku. Untuk daerah di luar Jawa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mengeluarkan peraturan Indlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) tahun 1938 no.490.
Menurut IGO ada tiga unsur penting dari sejarah terbentuknya desa yaitu kepala desa, pamong desa dan rapat desa. Kepala desa adalah penguasa tunggal pemerintahan desa, menyelenggarakan urusan rumah tangga desa dan urusan yang berhubungan dengan pemerintah dan harus memperhatikan pendapat desa dalam melaksanakan tugasnya. Kepala desa dibantu oleh Pamong Desa yang berbeda sebutannya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Kepala desa perlu tunduk pada rapat desa untuk hal – hal yang penting.
Pembentukan Desa di Zaman Jepang
Masa penjajahan Jepang di Indonesiayang singkat tidak membawa banyak perubahan dalam struktur dan sistem pemerintahan Indonesia termasuk untuk struktur dalamm sejarah terbentuknya desa. Secara umum pemerintahan Jepang secara umum menghapuskan demokrasi dalam pemerintahan daerah. Pada prinsipnya IGO serta peraturan lainnya tetap berlaku dan tidak ada perubahan, sehingga desa tetap ada dan tetap berjalan sesuai peraturan yang ada sebelumnya. Hanya ada sedikit perubahan pada Osamo Seirei 1942 yang mengganti beberapa sebutan kepala daerah dengan bahasa Jepang seperti Syuco, Kenco, Si-Co, Tokubetu – si, Tokubetu Sico, Gunco, Sonco dan Kuco, juga ada Osamu Seirei 7 tahun 1944 yang sedikit merubah tata cara pemilihan kepala desa. Ketahui juga mengenaiperkembangan nasionalisme di Indonesiadan latar belakang kerusuhan Mei 1998.
Struktur Desa di Indonesia
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 mengenai Desa bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan RI. Sedangkan menurut UU no.6 Tahun 2014 tentang desa, disebutkan bahwa desa adalah desa dan desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan RI.
Desa bukan berada di bawah kecamatan karena kecamatan adalah bagian dari kabupaten/kota, dan desa bukanlah bagian dari perangkat daerah. Desa berbeda dengan kelurahan dan memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas, tetapi dalam perkembangannya statusnya dapat berubah menjadi kelurahan.
Kewenangan yang dimiliki desa adalah:
Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada yang didasarkan pada hak asal usul desa
Menyelenggarakan urusan pemerintahan kewenangan kabupaten/kota yang pengaturannya diserahkan kepada desa, yaitu urusan pemerintahan yang secara langsung dapat membantu meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat.
Memiliki tugas pembantuan dari pemerintah, propinsi dan pemerintah kabupaten atau kota.
Menjalankan urusan pemerintahan lain yang diserahkan kepada desa. Ketahui juga mengenai sejarah perumusan UUD 1945 , biografi Cut Nyak Dhien danbiografi Mohammad Hatta.
Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan
Susunan Pemerintahan Desa
Fungsi dalam sejarah terbentuknya desa adalah sebagai hinterland (pemasok kebutuhan kota), sebagai sumber tenaga kerja kasar, mitra bagi pembangunan kota dan sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah NKRI. Desa memiliki struktur pemerintahan sendiri yang terdiri dari Pemerintah Desa, meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Kepala Desa
Kepala desa juga berwenang untuk menetapkan Peraturan Desa yang sudah disepakati bersama BPD. Pemilihan Kepala Desa dilakukan langsung bersama penduduk desa setempat.
Perangkat Desa
Tugasnya adalah untuk membantu Kepala Desa dalam melakukan tugas dan wewenangnya. Perangkat desa terdiri dari Sekretaris Desa yang diisi oleh pegawai negeri sipil dan diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati atau Walikota, tiga Kepala Urusan
Konsep Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (Maria Eni Surasih, 2002.
Undang-Undang yang Mengatur Tentang Otonomi Desa
Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perubahan positif dalam UU No 32. Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksaannya yaitu PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain:
Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai 119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam kerangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol.
Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 jo. Pasal 7
PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana, dan sarana serta sumber daya manusia.
Dalam pengaturan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian (alokasi). Hal ini tentu berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relativ pasti telah ditentukan dalam Pasal 68 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa, yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.
Komentar
Posting Komentar