Pemerintahan Desa dan Otonomi Desa

                                                   Pemerintahan Desa dan Otonomi Desa


      Dalam pengertian Desa menurut Widjaja dan UU nomor 32  tahun 2004, bahwa Desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya  sesuai  dengan  kondisi  dan  sosial  budaya  setempat,  maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena dengan Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan Otonomi Daerah.

      Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Tentang Desa No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

        Kemudian pada Pasal tersebut ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan  tentang Pemerintahan Desa yang menyatakan bahwa pemerintahan desa merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan pemerintahan desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

         Dan yang dimaksud dengan Otonomi desa merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial bidaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut.

A. Sejarah Terbentuknya Desa di Indonesia

     Menurut Soetardjo, yang dikatakan dalam Wasistiono 2007:7, desa yang ada di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Herman Warner Muntinghe yang merupakan seorang warga Belanda anggota dari  Rad Van Indie pada masa kolonial Inggris, dia merupakan pembantu Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada tahun 1817  di Indonesia. Dalam laporannya pada 14 Juli 1817 yang ditujukan kepada pemerintahannya, disebutkan tentang adanya desa-desa di daerah pesisir pulau Jawa dan kemudian ditemukan pula desa di luar pulau Jawa. Mengenai sejarah terbentuknya desa itu sendiri tidak keketahui pasti, namun mengacu pada prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun 1350M, dan prasasti Walandit di daerah Tanggerang di Jawa Timur pada tahun 1381M.

     desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak lama dan murni dibentuk oleh rakyat Indonesia, bukan bentukan atau warisan Belanda. Ada pula yang berpendapat bahwa terbentuknya desa itu diaawali terlebih dahulu dengan terbentuknya kelompok masyarakat dekarnakan sifat manusia sebagai makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang sama, dan adanya bahaya dari luar.

     Desa berasal dari istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti tanah tumpah darah. Menurut definisi universal, desa adalah kumpulan dari beberapa permukiman di area pedesaan atau rural area. Istilah desa di Indonesia merujuk kepada pembagian wilayah administratif yang berada di bawah kecamatan dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Desa adalah suatu kumpulan dari beberapa pemukiman kecil yang biasa disebut Kampung (Jabar), Dusun (Yogya), atau Banjar (Bali) dan Jorong (Sumbar). Sebutan lain untuk Kepala Desa adalah Kepala Kampung, Petinggi (Kaltim), Klebun (Madura), Pambakal (Kalsel), Kuwu (Cirebon), Hukum Tuan (Sulut).

     Istilah desa berkembang dengan nama lain sejak berlakunya otonomi daerah seperti di Sumbar dengan sebutan Nagari, Gampong dari Aceh, dan dikenal dengan sebutan kampung di Papua, Kutai Barat. Semua institusi lain di desa juga bisa mengalami perbedaan istilah tergantung kepada karakteristik adat istiadat dari desa tersebut. Perbedaan istilah tersebut merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan dari pemerintah terhadap asal usul adat setempat yang berlaku. Walaupun begitu, dasar hukum desa tetap sama yakni didasarkan pada adat, kebiasaan dan hukum adat. Meskpada ipun sejarah pembentukan desa tidak diketahui secara pasti, namun sejarah pembentukan desa bisa kita ketahui, yang mana sejarah pembentukan desa dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, yaitu: desa pada masa kerajaan, desa pada masa kolonial, desa pada pasca kemerdekaan, desa pada masa orde baru, dan desa pada pasca orde baru.

1. Pada Masa Kerajaan

    Desa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu desa alami dan desa perdikan. Sedangkan pada masa kolonial atau yang sering disebut dengan Pemerintahan Hindia Belanda, desa atau pemerintahan desa diatur dalam Pasal 118 jo 121 I.S. yaitu undang-undang dasar Hindia Belanda. Dalam pasal ini, pada intinya menjelaskan bahwa penduduk negero atau asli dibiarkan menghadap langsung kepada pimpinannya sendiri, sedangkan untuk atauran yang lebih lengkap dan jelas diatur aturan yang disebut dengan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengwesten) LN 1938 No. 490. Aturan ini berlaku sejak 1 Januari 1939 LN 1938 No. 681. 

    Berdasarkan ketatanegaraan Hindia Belanda, sebagaimana yang tersurat dalam Indische Staatsrwgling, pemerintah Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum “pribumi” dengan sebutan Inlandsche gementee yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja yang merupakan bekas kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan, mereka masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak penyelenggaraan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan hukum adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, yang disebut dengan nama Landshcap.

    Sedangkan bagi desa-desa atau yang disamaratakan dengan desa, yaitu mereka yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura, dan Bali, mereka disebut dengan Inlandsche Gemeente dan Drop dalam HIR untuk kepentingan pelaksanaan  pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan perumusan tentang sebutan Inlandsche Geemente yaitu: suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang mempunyai hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah kabupaten dan Swapraja.

2. Pembentukan Desa di Zaman Belanda

    Setelah Belanda menjajah Indonesia dan membentuk undang – undang pemerintahan di Hindia Belanda (Regeling Reglemen), maka desa juga diberi kedudukan hukum. Untuk menjabarkan maksud dari peraturan perundangan tersebut, Belanda kemudian mengeluarkan Indlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada tahun 1924 Regeling Reglemen diubah dengan Indische Staatsregeling tetapi dalam prinsipnya tidak ada perubahan berarti, maka IGO masih berlaku. Untuk daerah di luar Jawa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda mengeluarkan peraturan Indlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) tahun 1938 no.490.

    Menurut IGO ada tiga unsur penting dari sejarah terbentuknya desa yaitu kepala desa, pamong desa dan rapat desa. Kepala desa adalah penguasa tunggal pemerintahan desa, menyelenggarakan urusan rumah tangga desa dan urusan yang berhubungan dengan pemerintah dan harus memperhatikan pendapat desa dalam melaksanakan tugasnya.Kepala desa dibantu oleh Pamong Desa yang berbeda sebutannya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Kepala desa perlu tunduk pada rapat desa untuk hal – hal yang penting.

3. Pembentukan Desa di Zaman Jepang

    Masa penjajahan Jepang di Indonesia yang singkat tidak membawa banyak perubahan dalam struktur dan sistem pemerintahan Indonesia termasuk untuk struktur dalamm sejarah terbentuknya desa. Secara umum pemerintahan Jepang secara umum menghapuskan demokrasi dalam pemerintahan daerah. Pada prinsipnya IGO serta peraturan lainnya tetap berlaku dan tidak ada perubahan, sehingga desa tetap ada dan tetap berjalan sesuai peraturan yang ada sebelumnya. Hanya ada sedikit perubahan pada Osamo Seirei 1942 yang mengganti beberapa sebutan kepala daerah dengan bahasa Jepang seperti Syuco, Kenco, Si-Co, Tokubetu – si, Tokubetu Sico, Gunco, Sonco dan Kuco, juga ada Osamu Seirei 7 tahun 1944 yang sedikit merubah tata cara pemilihan kepala desa. Ketahui juga mengenai perkembangan nasionalisme di Indonesiadan latar belakang kerusuhan Mei 1998.

4. Pada Pasca Kemerdekaan

    Desa pada pasca kemerdekaan, hanya terdapat satu Undang-Undang, yaitu UU No. 9 Tahun 1965 yang dikeluarkan pada masa Soekarno yang berisi tentang pencabutan desa perdikan.

5. Pada Masa Orde Baru

    Pada masa orde baru, dikeluarkan Surat Edaran Mendagri No. 5/1/1969, yang menyatakan bahwa desa dan daerah setingkat secara hirarkis langsung dibawah camat dan dikeluarkan pula UU No. 5 Tahun 1979 tentang penyeragaman desa.

6. Pada Masa Reformasi atau Psca Orde Baru

    Pada masa ini terjadi perubahan pradigma penyelenggaraan pemerintah yang membuat dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan diakui pemerintah nasional dan berada di daerah kabupaten.

Struktur Desa di Indonesia

    Ciri – ciri masyarakat dalam sejarah terbentuknya desa antara lain bahwa kehidupan keagamaan di desa lebih kuat daripada di kota karena kontrol sosial yang lebih ketat, penduduk cenderung untuk saling tolong menolong karena rasa kebersamaan yang tinggi, dan tingkat ketergantungan cukup tinggi juga karena hal tersebut. Pembagian kerja yang cenderung baur dan tidak ada batasan yang jelas, pekerjaan yang sama seperti anggota keluarga terdahulu, kurangnya kreativitas dan inovasi karena keterbatasan teknologi, interaksi untuk kepentingan bersama, pembagian waktu lebih teliti dan perubahan sosial yang terjadi perlahan.

    Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 mengenai Desa bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan RI. Sedangkan menurut UU no.6 Tahun 2014 tentang desa, disebutkan bahwa desa adalah desa dan desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan RI.

Wewenang Desa

    Desa bukan berada di bawah kecamatan karena kecamatan adalah bagian dari kabupaten/kota, dan desa bukanlah bagian dari perangkat daerah. Desa berbeda dengan kelurahan dan memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas, tetapi dalam perkembangannya statusnya dapat berubah menjadi kelurahan. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa,  pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat  desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Dan menurut Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa kewenangan desa meliputi:

  a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  b. kewenangan lokal berskala Desa;
  c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau         Pemerintah Daerah
  d. Kabupaten/Kota; dan
  c. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah

Susunan Pemerintahan Desa

    Fungsi dalam sejarah terbentuknya desa adalah sebagai hinterland (pemasok kebutuhan kota), sebagai sumber tenaga kerja kasar, mitra bagi pembangunan kota dan sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah NKRI. Desa memiliki struktur pemerintahan sendiri yang terdiri dari Pemerintah Desa, meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
  • Kepala Desa

Pimpinan yang menyelenggarakan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan bisa diperpanjang untuk satu kali masa jabatan lagi. Kepala desa juga berwenang untuk menetapkan Peraturan Desa yang sudah disepakati bersama BPD. Pemilihan Kepala Desa dilakukan langsung bersama penduduk desa setempat.
  • Perangkat Desa

Tugasnya adalah untuk membantu Kepala Desa dalam melakukan tugas dan wewenangnya. Perangkat desa terdiri dari Sekretaris Desa yang diisi oleh pegawai negeri sipil dan diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati atau Walikota, tiga Kepala Urusan, tiga Kepala Seksi dan Kepala Kewilayahan/Dusun/Dukuh atau sebutan lain sesuai daerahnya masing – masing. Perangkat desa lain diangkat oleh Kepala Desa dan berasal dari penduduk desa yang ditetapkan melalui Keputusan Kepala Desa, dan mereka juga memiliki tugas untuk mengayomi kepentingan masyarakat.
  • Badan Permusyawaratan Desa

Dalam sejarah terbentuknya desa, BPD adalah lembaga yang mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa tersebut per wilayah, yaitu Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh masyarakat lainya. Masa jabatan untuk anggota BPD adalah selama 6 tahun dan bisa kembali diangkat untuk masa jabatan berikutnya. Pemimpin serta anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan Kepala Desa atau Perangkat Desa. Fungsi BPD adalah untuk merumuskan peraturan bersama Kepala Desa, untuk menampung dan menyalurkan aspirasi dari masyarakat desa.

B. Undang-Undang  yang mengatur Tentang Desa

     UU yang mengatur tentang desa itu ada empat yaitu; (1) UU No. 19 Tahun 1965; (2) UU No. 5 Tahun 1979; (3) UU No. 22 Tahun 1999; (4) UU No. 6 Tahun 2014. Selain itu terdapat juga Peraturan Pemerintah yaitu; PP No. 76 Tahun 2001 dan PP No. 77 Tahun 2005.

     Mengenai UU No. 19 Tahun 1965, yang mana UU ini mengatur tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terbentuknya daerah tingkat III diseluruh wilayah Indonesia. Terbentuknya UU ini juga merupakan akibat dari dilakukannya dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959, sehingga segala peraturan perundangan tentang desa yang masih mengandung sifat feodal harus diganti dengan UU ini. Kemudian tentang UU No. 5 Tahun 1979, yang mana UU ini merupakan UU yang mengganti UU No. 19 Tahun 1965 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi ketatanegaraan yang ada di Indonesia. Setelah dibentuknya UU ini, diharapkan dapat menyeragamkan kedudukan pemerintahan desa dengan tetap mengindahkan keragaman kondisi desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku.

     Kemudian UU No. 22 Tahun 1999 yang mulai diberlakukan pada era demokrasi reformasi. Dalam UU ini disebutkan bahwa jenis dan tingkatan daerah yang berlaku yaitu daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Kemudian yang terbaru adalah UU No. 6 Tahun 2014 yang mana membahas mengenai Asas Pengaturan, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa, dan Aset Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendapatan dan Pengeluaran Negara

Landasan Hukum Pelaksanaan Pemerintah Daerah